Kamis, 02 Januari 2014

cerita misteriku ke 2: Bertualang Bersama Teman

Kamis, 14 April 2011
Bertualang Bersama Teman

Sara dan Vena, dua remaja yang mengikuti kegiatan kemah pada Sabtu sore itu. Entah karena apa mereka berdua secara bersamaan terlambat datang ke kemah. Vena mengantar orang tuanya ke dokter sedangkan Sara terlambat karena ada beberapa urusan penting yang harus dia selesaikan terlebih dahulu. Tentunya mereka tetap diperbolehkan mengikuti kegiatan itu.Mereka datang saat jarum jam menunjukkan pukul 7 malam. Acara yang tersisa hari itu adalah api unggun dan membakar jagung. Sara membagi jagung manisnya kepada Vena.
“Maaf ya, Ra. Kau kan tahu aku pelupa,” kata Vena.
“Ah.. sudah biasa. Kalau kau tidak lupa, itu malah aneh. Hahaha,” Sara menimpali.
Api unggun menyala sangat besar, Vena yang tidak sabar menunggu jagungnya matang melemparkan jagung itu ke dalam nyala api.
“Ra, jagungnya di masukan ke situ saja. Pasti matang lebih cepat,” Vena berniat melempar jagungnya ke dalam api unggun.
 “Ih.. dengan campuran minyak tanah? Tidak. Terima kasih. Aku masih sayang diriku.”
“Hey. Yang bagian pojok tidak kena minyak. Daripada kita menunggu lama. Hmmm… jagungku sudah matang, rasanya seperti barbeque lho,” Vena menikmati jagung bakarnya.
 Banyak di antara peserta kemah mencoba cara Vena walaupun sebagian masih berkutat dengan pemanggang arang yang panasnya bagaikan lilin. Pantaslah jika sang jagung tak kunjung matang.
            Malamnya mereka tidur di tenda yang sudah mereka buat pada sore hari. Tentu saja tenda Vena dan Sara merupakan buatan teman satu kelompok mereka. Vena dan Sara tinggal menempati tenda yang agak, bahkan bisa dibilang kurang nyaman. Kira-kira pukul setengah satu malam, kakak pendamping pramuka membangunkan mereka dengan tiba-tiba dalam keadaan gelap gulita. Mereka harus membawa co-card yang mereka dapatkan saat registrasi sore dan berkumpul di lapangan basket. Vena mencari co-card yang sudah dia kaitkan di baju pramukanya. Tiada disangka, salah satu temannya sudah mengacak-acak baju itu dan melempar entah kemana. ‘Thok’ sikut salah satu teman mengenai kepala Vena.
“Haduh, sakit. Ini baju kemana sih.”
“Cepet dik! Cepet! Gitu aja kok lama!” kakak pendamping mengomando dengan suara agak ngeri-ngeri gimana.
Akhirnya vena keluar dengan co-card yang untungnya terkait di baju yang dia pakai. Ternyata dia hanya bermimpi memindahkan co-card itu ke baju pramuka yang dia sampirkan di atas tasnya.
“Co-card. Co-card. Kamu itu kecil-kecil nyusahin aku aja,” keluh Vena saat di lapangan.
Banyak juga yang tidak membawa co-card sehingga sebagai konsekuensi, para peserta kemah harus lari keliling lapangan basket tiga kali, di dini hari pukul 12.30.
Kakak pendamping meminta perwakilan regu untuk menanggung hukuman karena kesalahan anggota regu. Lalu mereka dibawa ke suatu tempat entah di mana. Anggota regu harus mencari petunjuk dan menemukan perwakilan regu mereka. Kebetulan yang menjadi wakil regu Vena dan Sara adalah Ara, gadis berjilbab yang juga ketua regu mereka. Anggota regu Vena dan Sara berkumpul, bergandengan tangan dan mulai melangkah ke dalam area perkemahan.
“Aduh,” Entah karena takut atau dingin. Salah seorang dari temannya memegang erat bahkan meremas tangan Vena, yang tidak lain dan tidak bukan “Sara. Kamu mau membuat tanganku putus ya?”
“Hehehe. Habisnya aku takut. Gelap banget,” Sara takut karena bulu kuduknya merinding tiba-tiba. Apa yang akan mereka hadapi?
            Mereka berjalan di lorong-lorong yang di tempati dua pocong jadi-jadian. Mereka lari tunggang langgang menjauhi pocong-pocong itu. Padahal jelas sekali salah satu pocong memakai kain yang kurang panjang, sehingga celana pramuka dan sepatu hitamnya terlihat. Mungkin karena kaget dan panik, mereka tidak memperhatikannya. Mereka mengambil jalan memutar agak jauh dari lokasi tadi dan munculah regu lain yang mengeluhkan dua pocong di lorong tadi. Akhirnya mereka kembali ke lorong yang di tempati dua pocong tadi dan mencoba bersama-sama melewati pocong itu, tapi masih tidak berani. Regu Vena dan Sara memutar balik lagi dan mencoba lewat jalan saat mereka bertemu regu lain. Vena dan salah satu temannya melihat dua pocong lagi yang duduk di antara laboratorium kimia dan biologi. Dua pocong yang agak tipis dan tidak bergerak. ‘Aneh’ pikir Vena, biasanya pocong jadi-jadian akan bergerak aktif dan menakut-nakuti mereka, entah mengejar atau sekedar bergerak.
“Fat? Kamu lihat kan?” Tanya Vena pada Fatima.
”Ya aku lihat kok, dua kan?” jawab Fatima.
‘Syukurlah’ Vena berkata dalam hati. Setidaknya ada orang lain yang lihat. Berarti itu memang pocong jadi-jadian.
“Eh, di situ ada dua lagi temen-temen, tapi duduk tuh. Lewat aja yuk. Mereka nggak nyerang kaya yang tadi kok,” kata Vena.
“Kalau mendekat nanti kita serang bareng-bareng,” tambah Vena.
Entah apa yang dia rasakan. Vena hanya ingin melewati dua pocong yang sedang duduk itu. Kenapa mereka mau berjaga di area yang sepi dan gelap. Area yang lebih gelap dan sepi bila dibandingkan dengan lorong-lorong. Mungkin sudah tugas mereka di situ.
Teman-temannya tidak mau dan tetap berteriak ketakutan. Akhirnya mereka kembali ke lorong yang di tempati dua pocong lagi. Bersama sekelompok regu putra, akhirnya mereka dapat melewati pocong tadi. Mereka naik ke aula dan mencari Ara.
“Ara… Ara… ” mereka memanggil Ara yang menjadi salah satu patung tak bersuara yang membeku bersama dua pocong yang hanya diam saja di dalam ruangan bernama aula.
“Prittt……………..” suara peluit panjang menandakan mereka harus segela kembali ke lapangan walaupun tidak menemukan Ara.
Setelah selesai mereka berbincang-bincang tentang para pocong jadi-jadian yang mereka temui. Mereka menertawakan para pocong yang gagal menyamar menjadi pocong.
“Tapi dua pocong yang di laboratorium keren lho. Mereka diem aja. Malah kaya pocong beneran. Ya kan Fat?” ujar Vena.
“Iya. Tapi karena kita udah liat beberapa kali malah jadi lucu. Nggak nakutin,” jawab Fatima.
“Sayangnya kita nggak liat. Masih sibuk menjerit ketakutan dan menutup mata. Hahaha,” ujar Sara.
“Rugi lho. Jarang tuh pocongnya diem. Jadi cuma aku sama Fatima deh yang lihat,” Vena mengeluh.
“Bener banget,” timpal Fatima.
Mereka kembali ke tenda dan tidur. Pagi harinya ada kegiatan ‘materi’ yang berlangsung di aula. Kakak pendamping bertanya seberapa seru kemarin malam dan apa saja yang mereka lihat.
“Adik-adik pada lihat pocong berapa?” Tanya sang pendamping.
“Tiga, Empat,” mereka menjawab.
“Lima eh enam, kak,” jawab Fatima dan Vena.
“Pocongnya kan cuma empat ,dik. Memang kalian lihat dimana saja?” tanya sang kakak.
“Di lorong ada dua, di antara laboratorium biologi dan kimia ada dua, terus di aula juga dua ,kak,” jawab Vena.
“Nggak ada yang di laboratorium, dik. Hayo… apa itu? Jangan-jangan beneran. Hahahaha,” tawa kakak pendamping.
Fatima dan Vena saling berpandangan. ‘Terus siapa yang dua itu?’ pikir mereka di dalam kepala masing-masing.

Oleh Devi Ayu M.
11 / X-Immerse SMA N 1 Klaten
Di ambil dari pengalaman pribadi

0 komentar:

Posting Komentar